Cerita Orang Pinggiran
Cerita ini hanya
sepenggal kisah dari sisa hidup kami dari kerasnya kehidupan. Kenyataan yang
membawa semangat kami untuk terus bertahan, untuk terus melangkah walaupun kerikil
tajam terus menghujani telapak kaki. Kami tak pernah berfikir untuk menikmati
hidangan diatas meja, dengan berbagai banyak menu pilihan yang bisa kita pilih,
tapi kami cukup mengisi perut seadaanya, itu sudah membuat kami lega. Lidah
kami terbiasa dengan makanan yang tak berasa, perut kami juga terbiasa dengan
suara nyanyian duka. mungkin lebih baik potong saja lidah ini
Tuhan, atau perut kami ganti saja dengan mahkluk ciptaanmu yang paling kecil.
Agar rasa lapar ini disaat waktunya, kami cukup mencari sebutir nasi. Mungkin dalam
pemikiran kami berkata,” hidup mewah dengan semua fasilitas terpenuhi atau
hidup miskin sebatang kara tanpa sanak saudara, menurut kami sama saja, tak ada
bedanya. Sama-sama dikemudian hari juga mati. Yang membedakan hanya satu,
karena kami tidak dilahirkan menjadi orang kaya. Iya… hidup ini memang tak
adil, kenapa keadilan selalu berpihak kepada yang berkuasa? Kenapa yang lemah
selalu menjadi tempat untuk penindasan? Apa artinya hidup semua ini? Kami
dilahirkan juga sama seperti mereka, dari orang tua yang kita cintai dan kita
sayangi. bukan dari batu, pohon atau benda lain seperti sampah yang tak ada
arti. Kami juga manusia seperti mereka, diberi otak untuk berfikir, diberi
tangan dan kaki untuk menggerakkan sesuatu yang bermanfaat, tapi kami sudah berusaha
untuk menjadi lebih baik, tetap saja masih seperti biasanya, hidup selalu
berpindah tempat, rumah hanya beralaskan kardus tipis yang sudah bau, atap
dinding sebagai penyangga bahu jalan, selimut cukup ditemani dengan koran
bekas, makan pun tak berharap selalu ada. Kadang sampai beberapa hari perut
kami tak mengunyah apapun, jika sampai tak tertahankan, kami berusaha mencari
sesuatu disekitar yang bisa dimakan untuk menahan rasa sakit apapun itu
caranya.
Fajar hari telah
lenyapkan kegelapan. Kabut putih bergumpal tebal menghalangi pemandangan. Suara
desakan orang melintas mengusik telinga di pagi hari. Matahari pun tak terasa mengintip
tidur kami dengan sinarnya yang menembus dari celah-celah dinding. Dengan
selembar koran bekas yang tertiup terbawa arus angin kami semua terbangun. Kami
mulai beraktifitas selayaknya orang bekerja. Tapi yang menjadi perbedaan antara
kami dan mereka-mereka yang kehidupanya jauh di atas, tak kan pernah mau
bekerja seperti kami yang serabutan demi kelangsungan hidup. Teruslah berjalan,
kami semua yakin pasti ada sesuatu didepan yang sudah menunggu, Jarak tak
mengurungkan niat kami untuk terus melangkah. Sesampainya di perempatan lampu
merah, kami pun beraksi dengan kemampuan seadanya dan alat gitar tua yang
menjadi sumber penghidupan. kami harus menunggu rambu-rambu berwarna merah,
agar pengemudi dijalan bisa berhenti dan kami pun mencoba untuk menghibur.
Setelah berwarna merah, kami bertiga sebut saja Poldi, Yuni dan Boy mencoba
menghibur para pengemudi yang memberhentikan kendaraanya. Kami pun mendekat ke
semua pengemudi dijalan, dan melantunkan lagu kebanggaan dari kami yang
berjudul punk rock jalanan. “teruslah kau petik gitarnya kawan” hati kecilku
berkata demikian. Dengan senyum sapa kami pengemudi ada yang mendengarkan lagu
kami, ada juga yang langsung memberi seikhlasnya, dan ada juga yang tak
memberi. Kami cukup terima apa pun resikonya. Karena kami hanya sekedar
menghibur bukan meminta. Prinsip hidup kami tak ada yang namanya pengemis,
kalau mau mendapatkan uang harus bekerja apapun itu caranya yang terpenting
bagi kami hal yang positif dan tak
merugikan orang disekitar. Walau kami hanya rakyat kecil tapi kami semua
punya mimpi dan tujuan. Sesudah menghibur orang disekitar, kami berhenti
sejenak di pojokan halte bus berkumpul dan beristirahat, sambil menghitung
recehan yang tak seberapa. Kami terus bersemangat, walau keringat menghujani
tubuh kami, dan rasa lapar semakin mencekik perut. Ditambah lagi udara yang
semakin panas, asap mobil yang tak karuan, iya… beginilah kami, tak ada
tuntutan yang bisa kita tuntut, mau marah, mau teriak, mau menganggap ini tak
adil, tak kan ada yang memperdulikan kami.
Setelah istirahat
cukup, kami melanjudkan perjalanan kembali. Setiap gang, setiap sudut rumah
kami singgahi, bahkan di perumahan-perumahan tak luput jadi sasaran kami.
Kadang disetiap rumah ada penjaga yang mengawasi, kami diusir secara tak
berpendidikan, selalu dilecehkan kesana-kemari, dan kami cukup menundukkan
kepada sambil bilang “terima kasih”. Tapi mental kami tak kan surut sampai
disini, selalu mencari sesuatu yang bisa menghasilkan uang. Jadi kuli panggul,
mencari kertas-kertas bekas atau benda logam yang sudah tak digunakan yang
terpenting bisa makan untuk hari ini. Beginilah kehidupan kami, selalu
bertentangan dengan kerasnya kehidupan. Selalu mencari yang bisa untuk dimakan.
Hari esok semoga menjadi lebih baik. Dan akhirnya satu hari ini, kami bisa
mengumpulkan uang lima belas ribu rupiah. Cukup buat makan kami bertiga. Hanya
saja makan sama nasi dan lauk satu ditambah air putih seadanya. Sisanya kami tabung
untuk persediaan jika dikemudian hari kami tak mendapatkan uang. Dan sampai
seterusnya kami hidup seperti ini tak da perubahan, yang ada hanya rasa sakit,
rasa perih. Semoga Tuhan selalu memberi petunjuk untuk kami…
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusHarrah's Cherokee 안산 출장샵 Casino & หาเงินออนไลน์ Hotel in Cherokee, NC 김천 출장안마 offers an exciting 동두천 출장샵 casino, hotel, event center, a full-service spa, a men's lounge, and 목포 출장샵 a golf course.