A
Kerajaan
Banten
1
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Banten
Di
dalam Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, dan berita Cina,
orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Sebutan ini
setidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber Cina yang berjudul Shung
Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan bahwa
Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran
yang dibuat Mao’Kun pada sekitar tahun 1421. Rute pelayaran itu adalah
Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak; Banten-Banjarmasing;
Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433)
Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda.
Buku ini merupakan laporan ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Ma
Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.
Dalam
catatan orang Eropa yang berasal dari catatan laporan perjalanan Tome Pires
(1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada
di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten
merupakan sebuah kota niaga yang baik karena terletak di sebuah teluk dan muara
sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak
hanya menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang
dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai
jenis makanan lainnya.
Selain
dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita
Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat
yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten
Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang
nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada
pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai pelabuhan dagang saja,
melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan).
Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan
kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis berdirnya Kesultanan Banten
terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri
dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai
pelopornya.
Perintisannya
diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok
masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya
penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang
berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten.
Kekuatan
kedua yang melahirkan Kesultanan Banten yaitu para pedagang muslim, baik para
pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya.
Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi
di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong permukiman orang muslim.
Kesultanan Banten pada masa jayanya
meliputi daerah yang sekarang dikenal dengan daerah Serang, Pandeglang, Lebak,
dan Tangerang. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 Banten mempunyai arti dan
peranan yang penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara,
khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan. Kota
Banten terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas pulau
Sumatra dan Jawa. Posisi Banten yang sangat strategis ini menarik perhatian
penguasa di Demak untuk menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten.
Sebelum Banten berwujud sebagai
suatu kesultanan, wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran).
Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang
berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten
di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai
pelabuhan. Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis,
di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan
Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi
pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil
negeri lainnya di ekspor.
Oleh karena itu, Banten pada masa
lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan
pemerintahan. Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama
kurang lebih tiga abad. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di
Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering
melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang
arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran,
untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke
Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam
dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran
untuk menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian
Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya
menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang
dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi akan adanya
pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika
Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar
Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara.
Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan
Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan
Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu
Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. Dalam
perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif
Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju
Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan
Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di
bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan
Demak dengan Cirebon bersama lascar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak
mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526
Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari
Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang
dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik,
pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara
pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini
berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa
itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang
yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke
Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi
Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibu kota Kesultanan
Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang
kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada
tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada
tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap
mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak
runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten
menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin
memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Ia telah memberikan andil
terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang
pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan berupa
masjid dan sarana pendidikan islam seperti pesantren. Di samping itu, ia juga
mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha yang telah
dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan
membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya.
Disamping itu keberadaan kesultanan
Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid
Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin.
Seperti masjid-masjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun
kelihatan antik dan unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan
perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari tiang
penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah, mimbar kuno yang
berukir indah, atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar
berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima.
Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam
beberapa sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan
masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan
oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk
agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Dahulu, gedung Tiamah ini digunakan
sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan
soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan
benda-benda purbakala. Selain itu, di Kasunyatan terdapat pula Masjid
Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung. Di masjid inilah tinggal
dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, guru
Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua. Bangunan lain yang membuktikan
keberadaan Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau
gedung kedaton Pakuwan. Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Keraton
Surosowan yang hanya tinggal puing-puing dikelilingi oleh tembok- tembok yang tebal,
luasnya kurang lebih 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang. Benteng
tersebut sekarang masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang
telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih ada beberapa
unsur, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam
Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu.
2
Perkembangan
Kehidupan Sosial Kerajaan Banten
Pemerintahan
Banten di Jawa Barat menggunakan aturan dan hukum Islam, sehingga kehidupan
masyarakatnya hidup secara teratur. Banyak orang India, Arab, Cina, Melayu dan
Jawa yang menetap di Banten. Mereka berkumpul dan membuat perkampungan sesuai
dengan nama asalnya, misalnya Pekojan (perkampungan orang Arab), Pecinan
(perkampungan orang Cina), Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya. Di
Banten terdapat orang keturunan Madura. Mereka adalah pelarian dari Madura yang
meminta perlindungan ke Banten karena tidak mau tunduk kepada Mataram. Kerajaan Banten merupakan salah satu
kerajaan Islam di Pulau Jawa selain Kerajaan Demak, Kasepuhan Cirebon, Giri
Kedaton, dan Mataram Islam. Kehidupan sosial rakyat Banten berlandaskan
ajaran-ajaran yang berlaku dalam agama Islam. Pada masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa, kehidupan sosial masyarakat Banten semakin meningkat dengan
pesat karena sultan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Usaha yang ditempuh
oleh Sultan Ageng Tirtayasa adalah menerapkan sistem perdagangan bebas dan
mengusir VOC dari Batavia.
Menurut
catatan sejarah Banten, Sultan Banten termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW
sehingga agama Islam benar-benar menjadi pedoman hidup rakyat. Meskipun agama
Islam mempengaruhi sebagian besar kehidupan Kesultanan Banten, namun penduduk
Banten telah menjalankan praktek toleransi terhadap keberadaan pemeluk agama
lain. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya sebuah klenteng di pelabuhan Banten
pada tahun 1673.
3
Perkembangan
Kehidupan Politik Kerajaan Banten
pada
tahun 1524 wilayah Banten berhasil dikuasai oleh Kerajaan Demak di bawah
pimpinan Syarif Hidayatullah. Pada waktu Demak terjadi perebutan kekuasaan,
Banten melepaskan diri dan tumbuh menjadi kerajaan besar. Setelah itu,
kekuasaan Banten diserahkan kepada Sultan Hasanudin, putra Syarif Hidayatullah.
Sultan Hasanudin dianggap sebagai peletak dasar Kerajaan Banten. Banten semakin
maju di bawah pemerintahan Sultan Hasanudin karena didukung oleh faktor-faktor
berikut ini:
a. Letak
Banten yang strategis terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Banten
menjadi bandar utama karena dilalui jalur perdagangan laut.
b. Banten
menghasilkan rempah-rempah lada yang menjadi perdagangan utama bangsa Eropa
menuju Asia.
Banten pun secara tak langsung berada di bawah
kekuasaan Demak. Semasa Sunan Gunung Jati, Banten masih termasuk kekuasaan
Demak. Pada tahun 1552, ia pulang ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada
anaknya, Maulana Hasanuddin. Sumber lain mengatakan bahwa pendiri Banten adalah
Fatahillah (Faletehan menurut catatan Tome Pires) atau Fadhilah Khan atau
Nurullah yang berasal dari Pasai. Ia merupakan panglima perang Demak dan juga
menantu Sunan Gunung Jati. Keadaan Demak yang goncang karena adanya perebutan
kekuasaan, mendorong Banten pada 1522 memutuskan untuk melepaskan diri. Dengan
demikian, Hasanuddin adalah pendiri dan peletak cikal-bakal kerajaan Banten.
Hasanuddin dinikahkan dengan putri Sultan Trenggana.
Hasanuddin memerintah selama 18 tahun, yaitu hingga
tahun 1570. Ia digantikan Sultan Panembahan Maulana Yusuf. Ia sangat memperhatikan perkembangan
perdagangan dan pertanian. Ia juga giat menyebarkan ajaran Islam. Pada masa
pemerintahannya, tahun 1579 Banten berhasil menaklukkan Pakuan Pajajaran dan
menyebarkan Islam lebih luas lagi di Jawa Barat. Panembahan Yusuf wafat karena
sakit pada tahun 1580 setelah memerintah selama 10 tahun. Hasanuddin memiliki
satu putra lagi, yaitu Pangeran Jepara. Pangeran Jepara
menikah dengan putri penguasa Jepara, Ratu Kali Nyamat dan
menjadi pengganti penguasa Jepara. Setelah Maulana Yusuf wafat tahun 1580,
kekuasaan diberikan kepada Maulana Muhammad. Karena masih
berumur sembilan tahun, maka yang menjalankan roda pemerintahan untuk sementara
adalah Pangeran Arya Jepara, paman Maulana Muhammad. Setelah
dewasa Maulana Muhammad resmi memerintah Banten dengan gelar Kanjeng
Ratu Banten.
Semasa pemerintahannya, Banten menyerang Palembang
yang akan dijadikannya batu loncatan untuk menguasai Selat Malaka. Serangan itu
gagal dan Maulana Muhammad tewas dalam pertempuran pada tahun 1596. Kemudian,
yang menjadi sultan Banten berturut-turut adalah Abu Ma’ali dan Abdul Qadir. Pada
tahun 1638, Raja Abdul Qadir mendapatkan gelar “Sultan” dari Syarif Mekah.
Gelar lengkapnya adalah Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir.
Gelar ini diperoleh setelah Abdul Qadir mengirim utusan ke Mekah. Sebagai tanda
gelar tersebut telah diterima olehnya, Sultan Abdul Qadir mendapatkan “bendera
dan pakaian suci”. Pada setiap hari raya Maulid Nabi, pemberian dari Syarif
Mekah ini selalu diarak berkeliling Banten. Pada tahun 1651 Abdul Qadir mangkat
dan tahta Banten diduduki oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Tirtayasa dan ayahnya begitu menyenangi ilmu pengetahuan. Keduanya sering
mengirimkan pertanyaan kepada ulama terkemuka saat itu, di antaranya Nuruddin
ar-Raniri di Aceh dan Syekh Yusuf dari Makassar. Para
ulama ini biasanya kemudian menulis kitab-kitab khusus sebagai jawaban
pertanyaan para sultan itu.
kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Hal-hal yang dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa terhadap kemajuan Kerajaan Banten adalah sebagai berikut:
1) Memajukan
wilayah perdagangan. Wilayah perdagangan Banten berkembang sampai ke bagian
selatan Pulau Sumatera dan sebagian wilayah Pulau Kalimantan.
2) Banten
dijadikan sebagai tempat perdagangan internasional yang mempertemukan pedagang
lokal dengan para pedagang asing dari Eropa.
3) Memajukan
pendidikan dan kebudayaan Islam sehingga banyak murid yang belajar agama Islam
ke Banten.
4) Melakukan
modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel. Sejumlah
situs bersejarah peninggalan Kerajaan Banten dapat kita saksikan hingga
sekarang di wilayah Pantai Teluk Banten.
5) Membangun
armada laut untuk melindungi perdagangan. Kekuatan ekonomi Banten didukung oleh
pasukan tempur laut untuk menghadapi serangan dari kerajaan lain di Nusantara
dan serangan pasukan asing dari Eropa.
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu raja
yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Kekuatan politik dan angkatan
perang Banten maju pesat di bawah kepemimpinannya. Namun akhirnya VOC
menjalankan politik adu domba antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji.
Berkat politik adu domba tersebut Sultan Ageng Tirtayasa kemudian berhasil
ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1629 Masehi.
Berikut ini daftar penguasa Kesultanan Banten
menurut catatan sejarah Wikipedia:
a) Maulana
Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin memerintah pada tahun 1552 – 1570
b) Maulana
Yusuf atau Pangeran Pasareyan memerintah pada tahun 1570 – 1585
c) Maulana
Muhammad atau Pangeran Sedangrana memerintah pada tahun 1585 – 1596
d) Sultan
Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu memerintah pada tahun 1596
– 1647
e) Sultan
Abu al-Ma’ali Ahmad memerintah pada tahun 1647 – 1651
f) Sultan
Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah memerintah pada tahun
1651-1682
g) Sultan
Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar memerintah pada tahun 1683 – 1687
h) Sultan
Abu Fadhl Muhammad Yahya memerintah pada tahun 1687 – 1690
i)
Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul
Abidin memerintah pada tahun 1690 – 1733
j)
Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul
Arifin memerintah pada tahun 1733 – 1747
k) Ratu
Syarifah Fatimah memerintah pada tahun 1747 – 1750
l)
Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri
memerintah pada tahun 1753 – 1773
m) Sultan
Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin memerintah pada tahun 1773 – 1799
n) Sultan
Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin memerintah pada tahun 1799 – 1803
o) Sultan
Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin memerintah pada tahun 1803 – 1808
p) Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin memerintah pada tahun 1809 – 1813
4
Perkembangan
Agama Islam Kerajaan Banten
Banten
adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten
mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geografisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Sebelum
Agama Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara
kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama
Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala
dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan
lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan
masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir
Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya
dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal
dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya
Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam di Banten.
5
Perkembangan Dan Masa Keemasan Kerajaan Banten
Pada abad ke-17 ini, Belanda telah
menguasai beberapa daerah kerajaan besar seperti: Mataram, Maluku, Batavia dan
Makasar. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Belanda telah memegang monopoli
perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda pun berhasil memperoleh
monopoli di Sumatera Tengah yakni di Palembang (1642) dan Jambi (1643). Di
pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar berada dalam kemiskinan dan
penindasan akibat keserakahan Belanda ini. Setelah Sultan
Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada
tanggal 10 Maret 1651. Untuk memperlancar sistem pemerintahannya Sultan
mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap sebagai pembantunya. Jabatan Patih atau Mangkubumi
dipercayakan kepada Pangeran Mandura dan wakilnya Tubagus Wiratmaja, sebagai
Kadhi atau Hakim Agung diserahkan kepada Pangeran Jayasentika, tapi karena
Pangeran Jayasentika meninggal tidak lama setelah pengangkatan itu dalam
perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol
Kawista yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmuddin. Pangeran Mandura dan Pangeran
Jayasentika adalah Putra Sultan ‘Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir, jadi masih
terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin adalah menantu Sultan Abulmufakhir
yang menikah dengan Ratu Lor. Untuk
memudahkan pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung,
Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa dan nayaka-nayaka
di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi. Dalam waktu tertentu
nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten dan berkumpul di kediaman
Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, untuk melaporkan keadaan daerahnya
masing-masing. Biasanya
setelah itu para ponggawa dan nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana
Surosowan, untuk menerima petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan yang harus
disampaikan kepada rakyat di daerahnya masing-masing. Di Mangkubumi Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur dan
mengawasi kesejahteraan prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari
maupun tentang persenjataannya. Rumah-rumah senopati dan ponggawa ditempatkan
sedemikian rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan
prajurit-prajuritnya, tetapi dengan mudah mereka pun dapat segera menerima
instruksi sultan. Memang Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah
seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu
masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur gerilya terhadap
pendudukan Belanda di Batavia. Seperti
juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan dengan kekhalifahan
Islam yang berpusat di Mekah, yang biasanya dilakukan sambil menunaikan ibadah
haji. Persiapan untuk mengadakan pertemuan dengan pusat kekhalifahan di Mekah
itu, Sultan mengadakan musyawarah dengan beberapa pembesar kerajaan yang antara
lain: Pangeran Mandura, Pangeran Mangunjaya dan Mas Dipaningrat; yang
selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot beserta tujuh orang lainnya diutus
ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan
untuk melaporkan penggantian Sultan di Banten, juga menceritakan keadaan
nusantara dan Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya dengan kompeni
Belanda. Di samping itu pula, untuk memperdalam pengetahuan rakyat Banten
kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru agama ke
Banten.
Setiba kembali utusan ini dari Mekah,
Khalifah Makkah menyampaikan sepucuk surat untuk Sultan bersama tiga orang
utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Dari khalifah Mekah
pula Pangeran Ratu Ing Banten
mendapat gelar Sultan
‘Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama
Haji Fattah dan mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang
pengiringnya. Dalam masalah
politik kenegaraan, Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala
bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke
pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan karenanya Sultan tidak akan
pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat bahwa perjanjian damai antara Sultan
Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni.
Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak
berlabuh dan mengadakan transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan
Banten mengalami banyak penurunan, karena pedagang-pedagang asing segan
berlabuh di Banten takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun
setelah mereka meninggalkan Banten. Membalas
tindakan kompeni ini Sultan pun memerintahkan tentaranya untuk selalu
mengadakan perusuhan pada intalasi milik kompeni, di mana saja diharapkan
orang-orang Belanda itu segera meninggalkan Banten. Sultan pun memperkuat
pasukannya di Tangerang dan Angke,
yang telah lama dijadikan benteng pertahanan terdepan dalam menghadapi kompeni Belanda.
Dari daerah ini pula pada tahun 1652 pasukan Banten mengadakan penyerangan ke
Batavia. Melihat situasi
yang semakin panas itu, kompeni mengirimkan utusan ke Banten untuk menyampaikan
usulan pembaharuan perjanjian tahun 1645. Dibawanya hadiah-hadiah yang menarik
untuk melunakkan hati Sultan, tapi Sultan ‘Abulfath menolak usulan tersebut.
Utusan kedua dikirimnya pula pada bulan Agustus 1655, tapi seperti utusan yang
pertama, Sultan pun menolaknya. Banten bertekad hendak meleyapkan penjajah
Belanda walau apapun resikonya.
Sehingga pada tahun 1656 pasukan
Banten yang bermarkas di Angke dan Tangerang mengadakan gerilya besar-besaran,
dengan mengadakan pengrusakan kebun-kebun tebu dan
penggilingan-penggilingannya, pencegatan serdadu-serdadu patroli Belanda,
pembakaran markas patroli, dan beberapa pembunuhan orang-orang Belanda, yang
semuanya dilakukan pada malam hari. Di
samping itu perahu-perahu ramping prajurit Banten sering mencegat kapal
kompeni, dan membunuh semua tentara Belanda dan merampas semua senjata serta
kapalnya. Sehingga kapal kompeni yang hendak melewati perairan Banten haruslah
dikawal pasukan yang kuat. Untuk
menghadapi kompeni dalam pertempuran yang lebih besar, Sultan ‘Abulfath
memperkuat pertahanannya baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Diadakanlah
hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain seperti Cirebon, Mataram dan
lain-lain. Bahkan dari Kerajaan Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark, banyak
didapatkan bantuan berupa senjata-senjata api yang sangat dibutuhkan. Diadakanlah kesatuan langkah dan
penyatuan pasukan di daerah kuasa Banten seperti di Lampung, Bangka, Solebar,
Indragiri, dan daerah lainnya mengirimkan pasukan perangnya untuk bergabung
dengan pasukan Surosowan. Demikian
juga keadaan kompeni di Batavia, pasukan perang kompeni diperkuat dengan
serdadu-serdadu sewaan dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Melayu, Bali,
Makasar dan Bugis. Memang serdadu yang berasal negeri Belanda sendiri sangat
sedikit, mereka sengaja mengambil penduduk pribumi untuk menghadapi orang
pribumi lainnya. Dalam pertempuran itu pun, orang Belanda selalu berada di
belakang sedangkan yang maju perang selalu serdadu pribumi. Diperkuatnya penjagaan-penjagaan
dan benteng-benteng di perbatasan Angke, Pesing, Tangerang, tapi karena kompeni
sedang sibuk berperang dengan Makasar, mereka tidak bisa banyak menyiapkan
pasukan. Setelah terjadi
beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, maka sekitar
bulan November dan Desember 1657 Kompeni mengajukan usul gencatan senjata.
Perjanjian gencatan senjata ini tidak segera dapat disepakati, karena
syarat-syarat perjanjian itu belum semuanya disepakati,. Karena kepentingan
Belanda dan kepentingan Banten selalu berbeda.
Tanggal 29 April 1658 datanglah
utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni yang
berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri dari 10
pasal:
1) Kedua belah pihak harus
mengembalikan tawanan perangnya masing-masing.
2) Banten harus membayar kerugian
perang berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
3) Blokade Belanda atas Banten akan
dihentikan setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang.
4) Kantor perwakilan Belanda di Banten
harus diperbaiki atas biaya dari Banten.
5) Sultan Banten harus menjamin
keamanan dan kemerdekaan perwakilan kompeni di Banten.
6) Karena banyaknya barang-barang
kompeni dicuri dan digelapkan oleh orang Banten, maka kapal-kapal kompeni yang
datang di Banten dibebaskan dari pemeriksaan.
7) Setiap orang Banten yang ada di
Batavia harus dikembalikan ke Banten, demikian juga sebaliknya.
8) Kapal-kapal kompeni yang datang ke
pelabuhan Banten dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
9) Perbatasan Banten dan Batavia ialah
garis lurus dari Untung Jawa hingga ke pedalaman dan pegunungan.
10) Untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan, warga kedua belah pihak dilarang melewati batas daerahnya
masing-masing.
Dari
rancangan naskah perjanjian yang diajukan kompeni ini Sultan ‘Abulfath dapat
melihat kecurangan dan ketidaksungguhan kompeni atas pedamaian. Kompeni hanya
mengharapkan keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan rakyat Banten.
Oleh karenanya pada tanggal 4 Mei 1658, Sultan mengirimkan utusan ke Batavia
untuk mengajukan perubahan atas rancangan naskah perjanjian itu antara lain :
a) Rakyat Banten dibolehkan datang ke
Batavia setahun sekali untuk membeli senjata, meriam, peluru, mesiu, besi,
cengkeh dan pala.
b) Rakyat Banten dibebaskan berdagang
di Ambon dan Perak tanpa dikenakan pajak dan cukai.
Usul
Sultan ini dengan serta merta ditolaknya, kompeni hanya menginginkan supaya
orang Banten membeli rempah-rempah dari kompeni dengan harga yang ditentukan
dan harus membayar pajak. Monopoli rempah-rempah di Ambon dan Maluku adalah
suatu yang sangat menguntungkan kompeni, sehingga apabila Banten dibolehkan
berdagang di sana, hapuslah monopoli ini. Demikian juga apabila orang Banten
dibolehkan membeli alat-alat perang, ini akan memungkinkan Banten memperkuat
diri dan dengan mudah akan merebut kembali Batavia. Penolakan Gubernur Kompeni
atas usul ini membuat Sultan sadar bahwa tidaklah mungkin akan ada persesuaian
pendapat antara dua musuh yang berbeda kepentingan ini, bahkan dengan
perdamaian ini kompeni berkesempatan untuk menyusun kekuatan. Karena berpikiran
demikian maka pada tanggal 11 Mei 1658 dikirimnya surat balasan yang menyatakan
bahwa Banten dan kompeni Belanda tidak akan mungkin bisa berdamai. Tiada jalan
lain yang harus ditempuh kecuali perang. Sejak itulah Sultan Abulfath
Abdulfattah mengumumkan “perang sabil”
menghadapi kompeni Belanda. Seluruh kekuatan angkatan perang Banten dikerahkan
ke daerah-daerah perbatasan, maka terjadilah pertempuran besar di darat dan
laut. Pertempuran ini berlangsung tanpa henti-hentinya sejak bulan Mei 1658
sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.
6
Pergolakan Dan Keruntuhan Kerajaan
Banten
Pada masa era kepemimpinan
Sultan Ageng Tirtayasa diwarnai konflik antara Banten dengan VOC yang semakin
memuncak. Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untuk
secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan
seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang telah
menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan
adanya perjanjian Sultan Ageng Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram
dengan VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya
membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami
kegagalan. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan sendiri
dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten
mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang
dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam
negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan
dibantu oleh putra lainnya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan
pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian
mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji
menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari tahta
kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya,
Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan
Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Ageng
Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat ingin menguasai
Banten, bersedia membantu Sultan Haji untuk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk
itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan
Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC
akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten
harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji,
Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai
daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh karena dijanjikan akan segera
menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan
Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta
kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak
hanya berfungsi sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga sebagai
simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik
tersebut, pada tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa Istana
Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang telah menduduki Istana
Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana Surosowan dan Sultan
Haji segera dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui bahwa Sultan Haji telah
berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju
loji VOC untuk menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff,
pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu
dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat
kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari
Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian
bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji,
pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando
Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang
Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC
dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng
Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang
Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang
diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran
Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan
kekuatan sekitar 400 orang, Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar
120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan
daerah Serang, 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan, sebanyak
500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa, dan sekitar 100 orang
memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh
pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan,
dan Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan
diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara dan Pontang juga
diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah
pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada
tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga setelah terjadi
pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di
kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke
Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal
Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah
pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan
Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta
membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa.
Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman.
Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu
membakar benteng dan keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali
untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa dan membujuknya untuk menghentikan
perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC
memerintahkan Sultan Haji untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52
orang keluarganya ke Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683
iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di
Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Ageng Tirtayasa
dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu
telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan
VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten
masih melakukan perlawanan walaupun semuanya tidaklah begitu berarti. Tidak
lama setelah itu, dengan restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan
Banten (1682-1687). Penobatan ini disertai beberapa persyaratan sehingga
Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian
dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang
isinya sebagai berikut:
a. Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum
pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, dan pasal yang masih
dipercayai dan menguntungkan bagi kedua belah pihak akan dipelihara baik-baik
tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap sebagai kedua
kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya.
Tambahan bahwa Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada
musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan,
demikian pula halnya kepada sahabat VOC dan terutama sunan atau susuhunan
atau putra-putra mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melakukan penyerangan
atau permusuhan karena ketenangan dan perdamaian di Jawa bagaimanapun harus
terlaksana.
b. Dan oleh karena penduduk kedua belah
pihak harus ada ketenangan dan bebas dari segala macam pembunuhan dan
perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan dan pegunungan,
maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di
sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebaliknya juga bagi orang
Jakarta tidak boleh mendatangi daerah dan sungai ataupun anak sungainya yang
ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masing-masing
diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah,
dan kalau tidak maka akan dianggap sebagai musuh yang dapat ditangkap atau
dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
c. Dan karena harus diketahui dengan
pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau telah
dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa
(Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran
sungai tersebut dengan kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah
selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang
Sungai Untung Jawa atau Tanggerang akan menjadi milik atau ditempati VOC.
d. Dalam hal itu setiap kapal VOC atau
kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten dan warganya, jika
terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, harus mendapat
pertolongan baik penumpangnya atau pun barang-barangnya.
e. Bahwa atas kerugian, kerusakan yang
terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan dan kesultanan
Banten sebagaimana telah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten
dan demikian pula akibat pembunuhan dan perampokan oleh Pangeran Aria Sura di
loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, dan segala
kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000
ringgit kepada VOC.
f. Setelah perjanjian ditandatangani
dan disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau
pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan
golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, jika
datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC
akan segera ditahan dan kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
g. Bahwa karena Banten tidak merupakan
satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan
raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di
bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian dan persahabatan
ini telah dimengerti oleh kedua belah pihak.
h. Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian
tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan bahwa VOC tidak perlu memberikan sewa
tanah atau rumah untuk loji, maka menyimpang dari hal itu VOC akan menentukan
pembayaran kembali dengan cara debet.
i.
Sultan
berkewajiban untuk di waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau
persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena
bertentangan dengan isi perjanjian ini.
j.
Karena
perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan
datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya harus
menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap suci,
dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan dan kemudian oleh segenap pembesar
kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh
misi komandan dan Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel,
pedagang Evenhart van der Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari
atas nama Gubernur Jenderal VOC dan Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal
VOC Belanda.
Perjanjian
ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh
Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran
Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh
Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel,
Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus.
Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karena dengan
perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar
negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu,
selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai
simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng
pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan
pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi
Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten
sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada
kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan
rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng
Tirtayasa serta pajak yang tinggi karena sultan harus membayar biaya perang,
tetapi juga karena monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil
pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat
rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, dan Denmark diusir dari
Banten dan pindah ke Bangkahulu, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan
kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak
terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang
ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri,
Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus
dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji
jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya
dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya.
Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya.
Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhoff
turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan
Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata
Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya
kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga
tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di
samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh
karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan
diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin
Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang
menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690
sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh
orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra
keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin
(1733-1747).
Pada masa
pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang
tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang
pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah
yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan
lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga
cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan usahanya dengan
menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya harus
dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan
penanaman tebu dan kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga
kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang
menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya
harus dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa
menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual
kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC. Sering terjadi, VOC
membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar
hanya 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono,
jenjang birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada
rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan
menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan
sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat
Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang
dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam,
kain, beras, dan lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si
petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara
itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul
Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang
janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan
permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul
Arifin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas
pengaruh Ratu Syarifah Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin
mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang
terdahulu, menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota,
atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan
di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada tahun
1747. Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu
Syarifah Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC dan
diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah
dinobatkan sebagai Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan
Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa
atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan
yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri
merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa
diampuni lagi sehingga rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Di bawah
pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang
diterapkan oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang adalah membagi pasukannya menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas
untuk melakukan penyerangan ke Kota Surasowan. Sementara itu, Ki Tapa memimpin
kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya
dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC
dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan
perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten dan menjadikan
Sajira yang terletak di Lebak sebagai salah satu pusat pertahanannya.
Untuk
menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan
wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin
yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke
daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Tidak
lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika,
adik Sultan Zainul Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali
Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. Selain itu, Jacob Mossel pun segera
mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai
putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus
menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan
mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi
sebagai berikut.
1) Banten di bawah kuasa penuh VOC
Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
2) Sultan akan mengirim utusan ke
Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan
VOC.
3) Hanya VOC Belanda yang boleh
mendirikan benteng di Banten.
4) Banten hanya boleh menjual kopi dan
tebu kepada VOC saja.
5) Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya
produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian
itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, dan
pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan
dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus
Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara
itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota.
Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan serangan-serangan tersebut.
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang,
mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan
kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan
menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin
(1753-1773).
Perlawanan
rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah
Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC,
perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19,
daerah Banten terus menerus dilanda konflik senjata antara pasukan Banten
dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi perlawanan ini, pada 1809
Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya
dibagi dua menjadi Caringin dan Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan
Sir Stamford Raflles terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten.
Sejak tahun 1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
a) Kabupaten Banten Lor (Banten Utara)
yang dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
b) Kabupaten Banten Kulon (Banten
Barat) diperintah oleh Tubagus Hayudin;
c) Kabupaten Banten Tengah yang
diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
d) Kabupaten Banten Kidul (Banten
Selatan) yang diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.